Selasa, 14 September 2010

Program Keluarga Harapan: “Antara Ada dan Tiada”

Program Keluarga Harapan sebuah program yang diluncurkan oleh Departemen Sosial, atau saat ini dikenal dengan Kementrian Sosial beberapa tahun lalu, nampaknya belum dapat membuat gebrakan berarti di kehidupan masyarakat. Pasalnya program yang lebih dikenal dengan sebutan PKH ini ternyata telah ada sejak tahun 2007, namun kenyataannya masih banyak pihak yang belum mengetahui akan adanya PKH ini. Bisa dibillang PKH muncul seperti hantu, antara ada dan tiada.
Sekilas tentang PKH, program yang diluncurkan tiga tahun lalu oleh Departemen Sosial Republik Indonesia adalah sebuah program yang difokuskan untuk meningkatkan kualitas kehidupan rumah tangga sangat miskin (RTSM) dengan memberikan bantuan tunai langsung kurang lebih sebesar Rp700.000/ RTSM per bulan. PKH pun dibuat bukan tanpa tujuan, setidaknya terdapat 5 permasalahan yang menjadi fokus utama pelaksanaan PKH, yaitu pengurangan penduduk miskin, pendidikan dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian balita dan anak, serta pengurangan angka kematian ibu melahirkan.
Jika dilihat dari fokus program tersebut, PKH dapat dikatakan sebagai jawaban dari kondisi bangsa Indonesia yang kian terpuruk. Alasan sederhananya, Kementrian Sosial berusaha meretas dua masalah klasik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, kemiskinan dan kebodohan. Indonesia pun telah bertekad dalam Millenium Development Goals pada tahun 2015 untuk dapat mencapai salah satu butir penting yaitu menurunkan angka kematian ibu dan anak, serupa dengan apa yang ingin dicapai oleh PKH. Namun sekali lagi, apakah PKH saat ini sudah tepat sebagai solusi permasalahan yang dihadapi Indonesia, khususnya dalam pengurangan angka kematian ibu dan anak. Sejauh mana PKH menyentuh masyarakat ?
PKH memang dibuat serupa dengan bantuan tunai di negara-negara lain,biasa dikenal dengan sebutan CCT (Conditional Cash Transfers) yang disinyalir sukses meretas permasalahan kemiskinan yang terjadi di negara tersebut. Sayangnya, hal tersebut belum sepenuhnya tercermin pada pelaksanaan PKH di Indonesia. Pada beberapa daerah mislanya , terjadi banyak penyimpangan pada distribusi dana PKH.
Sekali lagi, PKH hadir dengan segala kesederhanaannya dan misi sucinya, yaitu fokus pada pengurangan kematian ibu dan anak serta pencapaian pendidikan dasar. Masalah kesehatan dan pendidikan yang memang menjadi permasalahan utama yang mau tidak mau harus diselesaikan dari sekarang. Tetapi, misi bersih tersebut belum sepenuhnya tercapai.
Masih banyak RTSM yang memang seharusnya menerima PKH, tidak bisa mendapatkan haknya. Belum lagi ketika RTSM diwajibkan untuk menggunakan dana yang diberikan ke pos-pos seharusnya, seperti memeriksakan kandungan ibu hamil ke rumah sakit atau puskesmas setempat. Peserta PKH yang secara langsung terdaftar sebagai peserta Askeskin masih sering dikesampingkan dalam hal pelayanan. Belum lagi, terkait dengan masalah pendidikan, RTSM yang memang biasa tinggal di daerah pelosok masih sangat minim akses untuk memilki pendidikan yang sama dengan yang didapatkan di daerah perkotaan. Tidak jarang, para anak dari RTSM harus menempuh jarak yang sangat panjang untuk dapat bersekolah.
PKH tidak sepenuhnya salah, adalah hal yang sangat wajar ketika dalam tiga tahun pelaksanaannya ditemui berbagai hambatan seperti yang tertera di atas. Tetapi, hambatan tersebut juga tidak bisa dibiarkan terus menerus. PKH yang mungkin pada awalnya hanya dirasakan oleh 500 RTSM harus terus memperluas jangkauannya karena waktu Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan mileniumnya tinggal sedikit.
PKH harus membuktikan eksistensinya bagi pembangunan Indonesia. Sudah selayaknya PKH bukan hanya jadi gawean dari Kemensos saja, melainkan juga harus melibatkan Kemenkes selaku pusat regulasi instansi yang memberikan pelayanan pada RTSM PKH serta Kemendiknas yang memiliki andil cukup besar agar dapat memastikan tidak ada satupun anak Indonesia yang terpaksa putus sekolah karena keterbatasan finansial. Hal yang tidak kalah penting pada pelaksanaan KPH juga terletak dalam sistem koordinasi. Sudah sepatutnya komponen yang terlibat dalam PKH, dari UPPKH (Unit Pelayanan Program Keluarga Harapan) pusat dan unit yang tersebar di berbagai daerah harus dapat mereformasi birokrasinya sehingga tujuan dapat tercapai dengan optimal.
PKH bukanlah sesosok makhluk hidup bertenaga besar dan kuat yang harus selalu menyertai pembangunan Indonesia, tetapi bukan juga hantu yang enggan terlihat atau memang tidak terlihat dari awal. PKH adalah sebuah kebijakan besar yang sangat sesuai untuk menjawab problema kehidupan bangsa Indonesia. Namun, PKH bukanlah program super yang dapat berkembang dengan sendirinya, oleh karena itu PKH harus selalu didukung pengemabangannya. Sesungguhnya kesepakatan Indonesia terhadap pencapaian 8 butir MDGs di tahun 2015 merupakan cambuk terbaik bagi PKH agar terus berkembang dan membuktikan bahwa program ini ada dan bermanfaat bagi pembangunan Indonesia.
Rona Cahyantari Merduaty

0 komentar: